My Widget

Friday 22 February 2013

KEKERASAN PADA ANAK


Semua orang tua pasti sekali waktu merasa marah terhadap anaknya. Mengatasi perilaku anak memang bukan perkara mudah. Hanya dengan bilang “tidak” saja belum tentu dapat meredam sikap yang menjengkelkan tersebut. Dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang menyulitkan tersebut banyak orang tua yang lepas kendali sehingga mengatakan atau melakukan sesuatu yang membahayakan anak sehingga kemudian mereka sesali. Jika situasi ini sering berulang, hal ini yang dikatakan sebagai penyiksaan anak, baik secara fisik maupun mental. Beberapa kriteria yang termasuk perilaku menyiksa seperti :
v  Menghukum anak secara berlebihan
v  Memukul
v  Menyulut dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting
v  Terus menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak
v  Pelecehan seksual
v  Menyerang anak secara agresif
v  Mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai

Menurut pendapat Vander Zanden (1989), perilaku menyiksa dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk penyerangan secara fisik atau melukai anak; dan perbuatan ini dilakukan justru oleh pengasuhnya (orang tua atau pengasuh non-keluarga). Menurut data penelitian diungkapkan bahwa penyiksaan secara fisik banyak dialami oleh anak-anak sejak masa bayi, dan berlanjut hingga masa kanak-kanak sampai remaja.
Lain lagi pendapat para psikiater yang terhimpun dalam Himpunan Masyarakat Pencegah Kekerasan Pada Anak di Inggris (1999). Mereka berpendapat, bahwa pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan namun lebih bersifat pasif. Efek dari penyiksaan maupun pengabaian terhadap anak sama-sama mendatangkan akibat yang buruk. Untuk mengetahui lebih jelas apa dan sejauh mana dampak dari sikap orang tua yang demikian, Anda dapat melihat pada artikel kami tentang dampak penyiksaan dan pengabaian orangtua terhadap anak. 

 
PENGABAIAN TERHADAP ANAK
Penyiksaan terhadap anak tidak terbatas pada perilaku agresif seperti memukul, membentak-bentak, menghukum secara fisik dan sebagainya, namun sikap orang tua yang mengabaikan anak-anaknya juga tergolong bentuk penyiksaan secara pasif. Pengabaian dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak. Pengabaian ini dapat berbentuk :
  • Kurang  memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak
  • Tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan
  • Mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara
  • Membeda-bedakan kasih sayang dan perhatian antara anak-anaknya
  • Dipisahkan dari orang tua, jika tidak ada pengganti yang stabil dan memuaskan
Dampak Penyiksaan dan Pengabaian Terhadap Beberapa Aspek Kehidupan Anak Menurut berbagai lembaga penanganan terhadap anak-anak yang mendapat perlakuan negatif dari orang tua, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak atau efek dari penyiksaan atau pengabaian terhadap kehidupan sang anak. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.      Jenis perlakuan yang dialami oleh sang anak
2.      Seberapa parah perlakuan tersebut dialami
3.      Sudah berapa lama perlakuan tersebut berlangsung
4.      Usia anak dan daya tahan psikologis anak dalam menghadapi tekanan
5.      Apakah dalam situasi normal sang anak tetap memperoleh perlakuan atau pengasuhan  yang wajar
6.      Apakah ada orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi, memperhatikan dan dapat diandalkan oleh sang anak
Sementara itu penyiksaan dan atau pengabaian yang dialami oleh anak dapat menimbulkan permasalahan di berbagai segi kehidupannya seperti:
·         Masalah Relational
·         Masalah Emosional
·         Masalah Kognisi
·         Masalah Perilaku
·         Masalah Relational

1. Masalah Relational
a)      Kesulitan menjalin dan membina hubungan atau pun persahabatan
b)      Merasa kesepian
c)      Kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis
d)     Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain
e)      Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri
f)       Sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain
g)      Mudah curiga, terlalu berhati-hati terhadap orang lain
h)      Perilakunya tidak spontan
i)        Kesulitan menyesuaikan diri
j)        Lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan kawan-kawannya
k)      Suka memusuhi orang lain atau dimusuhi
l)        Lebih suka menyendiri
m)    Merasa takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain
n)      Sulit membuat komitmen
o)      Terlalu bertanggung jawab atau justru menghindar dari tanggung jawab
 
2. Masalah Emosional
a)      Merasa bersalah,
b)      Malu
c)      Menyimpan perasaan dendam

3. Depresi
a)      Merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua
b)      Merasa takut masalah dirinya ketahuan kawannya yang lain
c)      Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
d)     Merasa bingung dengan identitasnya
e)      Tidak mampu menghadapi kehidupan dengan segala masalahnya

4. Masalah Kognisi
a)      Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan
b)      Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri
c)      Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri
d)     Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah
e)      Memiliki citra diri yang negatif

5. Masalah Perilaku
a)      Muncul perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah
b)      Perbuatan kriminal atau kenakalan
c)      Tidak mengurus diri sendiri dengan baik
d)     Menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk mencari perhatian
e)      Muncul keluhan sulit tidur
f)       Muncul perilaku seksual yang tidak wajar
g)      Kecanduan obat bius, minuman keras, dsb
h)      Muncul perilaku makan yang tidak normal, seperti anorexia atau bulimia

Tidak semua anak akan memperlihatkan tanda-tanda tersebut di atas karena mereka merasa malu, atau takut untuk mengakuinya. Bisa saja mereka diancam oleh pelakunya untuk tidak membicarakan kejadian yang dialami pada orang lain. Jika tidak, maka mereka akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih hebat. Tidak menutup kemungkinan, anak-anak tersebut justru mencintai pelakunya. Mereka ingin menghentikan tindakannya tetapi tidak ingin pelakunya ditangkap atau dihukum, atau melakukan suatu tindakan yang membahayakan keutuhan keluarga.
KASUS kekerasan terhadap anak seringkali berlangsung kronis dan tidak terdeteksi dalam waktu lama atau diketahui setelah anak menderita akibat yang parah baik secara fisik maupun mental emosional.
Angka kejadian kekerasan terhadap anak di Indonesia bukanlah angka kejadian yang sebenarnya dalam masyarakat, karena umumnya para pelaku adalah mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari korban yang masih anak, sehingga untuk kepentingan pelaku, mereka sering menutup-nutupi adanya kasus tersebut.

Bentuk kekerasan pada anak dapat dibedakan dalam:

  1. Penganiayaan fisik; dipukul, dibakar, digigit, diracun, diberi obat salah atau ditenggelamkan.
  2. Penganiayaan seksual; ketika anak laki-laki atau perempuan dianiaya secara seksual oleh orang dewasa dapat berupa hubungan seksual (penetrasi), masturbasi (seks oral), hubungan seks anal (sodomi) atau menjual untuk kepentingan pornografi.
  3. Penganiayaan emosional; ketika anak kurang mendapatkan kasih sayang dan cinta, sering dikritik, diancam dan dicela sehingga anak kehilangan percaya diri dan harga diri.
 
Kemungkinan besar yang dilakukan orang tua terhadap anaknya adalah kekerasan secara emosional, yang dampaknya tidak hanya menurunkan rasa percaya diri dan harga dirinya saja, bahkan telah menyebabkan gangguan mental emosional ("... sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah dan kabur selama 3 hari ke rumah pamannya tidak mau pulang. Anak terlihat cemas, gelisah, mudah tersinggung dan akhir-akhir ini prestasi di sekolahnya mulai menurun karena menjadi sulit konsentrasi" ...).

 Ada beberapa perkiraan faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, di antaranya:
1. Faktor orang tua
  • Pernah menjadi korban penganiayaan orang tua pada masa kecilnya atau tinggal cukup lama di rumah yang penuh kekerasan. Mereka menganggap perilaku itu wajar terhadap anak.
  • Orang tua tidak mengetahui cara yang baik dan benar mengasuh dan mendidik anak, cenderung memperlakukan anak secara salah. Harapan orang tua yang terlalu tinggi tanpa mengenal keterbatasan anak dan pandangan bahwa anak adalah hak milik orang tua atau merupakan aset ekonomi.
  • Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan anak, sehingga orang tua tidak mengetahui kebutuhan dan kemampuan anak. Sehingga memperlakukan anak secara salah.
  • Mengalami gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian termasuk menggunakan narkoba. Seringkali orang tua tidak menyadari ada yang salah di dalam dirinya (insightnya buruk), tidak dapat berpikir dan bertindak wajar, termasuk dalam mendidik anak.
2. Faktor keluarga
Krisis atau tekanan kehidupan akibat masalah sosial, ekonomi, politik, keterasingan dari masyarakat, kemiskinan, kepadatan rumah tempat tinggal dan stresor psikososial lainnya dapat menimbulkan perlakuan yang salah pada anak.

3. Faktor anak
Perilaku atau tabiat anak, penampian fisik anak. Anak yang tidak diinginkan dan kegagalan anak memenuhi harapan orang tua.

4. Faktor adat istiadat
Pola asuh hak orang tua terhadap anak, pengaruh pergeseran budaya, pengaruh media massa dapat menimbulkan kasus kekerasan pada anak.
 
Tidak mudah untuk mengetahui tanda-tanda adanya kekerasan emosional terhadap anak, yaitu tidak sejelas gejala kekerasan yang lain. Juga tidak mudah menentukan kapan anak dianggap mengalami kekerasan emosional, oleh karena sikap tertentu dari orang tua dalam banyak kebudayaan dianggap bagian dari pendidikan disiplin, seperti pada orang tua yang memarahi anaknya.
Seorang anak dikatakan mengalami kekerasan emosional bila secara persisten anak menjadi korban kemarahan, kebencian, kemarahan, ancaman dan penghinaan orang dewasa. Anak yang mengalami kekerasan oleh orang dewasa menyangkal cerita yang disampaikan sebelumnya, ketakutan yang berlebih pada orang tua atau orang dewasa lain, tidak pernah meminta perlindungan dan support pada orang tua, memperlihatkan tingkah laku agresif atau penarikan diri (mengisolasi diri secara ekstrem), kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya, terlalu penurut, gangguan tidur, anak sering terbangun pada malam hari, menghindari kontak mata atau mencederai diri sendiri. ("Sejak sebulan yang lalu anak laki-laki pertama kami yang berusia 12 tahun mengatakan sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah dan kabur selama 3 hari. Anak terlihat cemas, gelisah, mudah tersinggung dan akhir-akhir ini prestasi di sekolahnya mulai menurun karena menjadi sulit konsentrasi").
Yang terpenting dalam upaya penanggulangan kekerasan emosional adalah memastikan keamanan dan kesehatan anak, bila perlu memisahkan anak dari sumber stres. Psikoterapi harus dapat mengatasi rasa ketakutan, kecemasan dan harga diri anak, membina hubungan dengan orang dewasa dengan saling memercayai tanpa merasa dikhianati
Terapi terhadap orang tua bertujuan memperbaiki fungsi orang tua dengan cara menghilangkan atau mengurangi stres osial dan lingkungan, meredakan efek psikologis dan faktor sosial yang merugikan orang tua.
Masalahnya adalah seringkali orang tua, ayah atau ibu yang bermasalah tidak mau atau menolak bila diajak untuk konsultasi (insight of illnes buruk), bahkan tidak jarang akan marah besar karena merasa dituduh atau disalahkan bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab.
Pencegahan kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keluarga yang berisiko tinggi. Bila sudah diketahui dilakukan monitoring terhadap kehidupan keluarga tersebut termasuk kondisi anak. Keluarga dapat diberi bimbingan dan konseling untuk mengetahui kapan seorang anak mendapat perlakuan kekerasan dan alternatif untuk mengatasi masalah.
Kewajiban moral terapis untuk memberitahukan kasus kepada pihak yang berwenang telah ada dalam prinsip kedokteran yaitu prinsip bertujuan untuk kebaikan penderita dan tidak memperburuk keadaan penderita, atau dengan perkataan lain terapis berkewajiban moral untuk melepaskan anak dari kemungkinan keadaan yang memperburuk dan memberi peluang bagi anak untuk memperoleh keadilan dan kebebasan dari rasa takut.
Keppres No 36/1990 menyatakan tidak seorang pun anak akan menjadi sasaran kekerasan (penganiayaan) atau perlakuan yang lain atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merusak (pasal 37) dan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, penyalahgunaan, perlakuan salah dan eksploitasi dari pihak mana pun termasuk orang tua (pasal 19). Pernyataan ini dapat digunakan sebagai kewajiban moral bagi siapa pun yang mengetahui adanya penganiayaan dan penelantaran anak

sumber; http://ngobrolpsikologi.blogspot.com/2012/04/stop-kekerasan-pada-anak.html

1 comment: